Selasa, 26 November 2013

  MATERI UAS XII SEMESTER GASAL TAHUN PELAJARAN 2013/1014

PELAJARAN 1. Gereja Sebagai Institusi Sosial dan Persekutuan

Institusi Sosial adalah suatu perkumpulan sosial yang dilembagakan oleh undang-undang, adat atau kebiasaan atau juga dapat berarti perkumpulan atau paguyuban, organisasi sosial yang berkenaan dengan masyarakat. Dilihat dari definisi tersebut, maka gereja dapat digolongkan sebagai lembaga atau institusi. Gereja memiliki perangkat organisasi, lengkap dengan strukturnya, kepemimpinan dan keanggotaan. Gereja dibangun atas visi dan misi yang jelas, memiliki aturan serta sejarah yang turut mempengaruhi arah dan langkah gereja.
Kata Gereja merupakan terjemahan dari kata “ekklesia” yang artinya dipanggil keluar dari dunia mereka yang lama dan dikuduskan atau “diasingkan” dari persekutuan-persekutuan lain di dunia. Gereja digunakan oleh Allah sebagai “alat” dalam karya penyelamatan-Nya, yakni menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang buta, membebaskan orang tertindas, dan untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan yang telah datang (Luk. 4:18-19).
Gereja terbentuk karena Allah yang memanggil dan bukan karena orang-orang yang berkepentingan sama merasa perlu bersatu. Gereja berbeda dengan lembaga atau persekutuan lain. Gereja mempunyai hakekat lain. Ia berada di tengah-tengah dunia, tetapi ia tidak berasal dari dunia (Yoh. 17:11). Oleh karena itu, muncul istilah “gereja yang tidak kelihatan”, yakni gereja yang dalam iman.


PELAJARAN 2. Gereja Diutus ke dalam Dunia

Gereja Diutus ke dalam Dunia: Sebagai Penghubung Kristus dengan dunia

Gereja hidup di tengah-tengah dunia. Oleh karena itulah, keberadaan gereja tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sosialnya. Dr. J. L. Ch. Abineno mengatakan bahwa gereja adalah persekutuan yang menghubungkan Kristus dengan dunia. Dunia adalah ruang tempat gereja hidup, bersaksi dan melayani sebagai umat Allah. Sebagai persekutuan, gereja dipanggil sekaligus diutus ke dalam dunia untuk memberitakan perbuatan-perbuatan Allah yang besar. Inilah yang disebut dengan panggilan dan pengutusan gereja.

Gereja Memberitakan Injil

 Injil berasal dari bahasa Yunani euangelion yang berarti “kabar baik”. Dengan demikian, Injil yang dimaksud adalah Injil perdamaian yang adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan dan memperdamaikan segala sesuatu dengan Allah (bnd. Rm. 1: 16-17; Kol 1:20). Injil adalah berita sukacita yang utuh dan menyeluruh untuk segala makhluk, manusia dan alam lingkungan hidupnya. Injil menyangkut keseluruhan kehidupan manusia. Bukan hanya kehidupan nanti, melainkan kehidupan sekarang di dunia ini. Bukan hanya mengenai jiwa atau roh manusia, melainkan juga mengenai seluruh keberadaannya, baik sebagai makhluk rohani, maupun sebagai makhluk politik, makhluk sosial, makhluk ekonomi, makhluk ilmu dan teknologi, makhluk kebudayaan, dan sebagainya. Sebagai pekabar Injil dalam masyarakat, gereja juga dituntut untuk memberi perhatian pada persoalan-persoalan yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Dengan demikianlah peran serta gereja dirasakan oleh masyarakat.

Gereja Menyatakan Tanda-Tanda Kerajaan Allah

Dalam pemberitaan-Nya, Yesus berkali-kali menyampaikan tentang kerajaan Allah. Yesus menegaskan bahwa Ia datang dan diutus ke dalam dunia untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah (Mat. 4:23; Luk. 4:43; 8:1). Yesus tidak pernah merumuskan pengertian-Nya tentang Kerajaan Allah. Arti Kerajaan Allah disampaikan oleh Yesus melalui berbagai perumpamaan (lih. Mat. 18:23; 22:2; 25:1). Bahkan, ketika orang Farisi bertanya mengenai Kerajaan Allah, Yesus justru menjawab, “Sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara kamu” (Luk. 17:21b). Kalau begitu, apakah yang dimaksud dengan Kerajaan Allah?
Dr. Eka Darmaputera menjelaskan bahwa Kerajaan Allah menunjuk pada suatu keadaan atau suatu kenyataan dimana Allah dengan sepenuhnya akan memerintha dan memberlakukan kehendak-Nya, yaitu keadilan, kebenaran, perdamaian dan kesejahteraan yang menyeluruh bagi seluruh umat manusia. Tugas umat Kristen adalah untuk menyatakan “tanda-tanda” yang menunjuk pada Kerajaan Allah, yaitu menyatakan keadilan, kebenaran, perdamaian, dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.


PELAJARAN 3. Bersikap Kritis terhadap Gereja

Menyikapi perkembangan yang ada dalam masyarakat, gereja masa kini dituntut untuk senantiasa memperbaharui diri guna memenuhi kebutuhan anggotanya dan sebagai jawaban atas tugas dan panggilannya. Gereja dapat membenah diri sehingga dapat menjadi persekutuan yang dipanggil untuk melayani Tuhan melalui pelayanan terhadap dirinya, masyarakat dan dunia ini.
Pergeseran dan perubahan itu terus-menerus terjadi dan derasnya arus pergeseran dan perubahan dalam masyarakat turut mempengaruhi gereja. Meskipun gereja bukan berasal dari “dunia” (Yoh. 17:16). Hal ini menantang gereja untuk turut menggumuli masalah-masalah yang timbul dan menyatakan sikapnya terhadap masalah-masalah itu. Gereja tidak dapat menutup mata terhadap lingkungan sekitarnya, terutama yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan, kebebasan, kesetaraan dan kasih.

A.    Tantangan Internal

Tantangan internal adalah tantangan yang berasal dari tubuh gereja itu sendiri. Kenyataan gereja sebagai lembaga dan sebagai persekutuan melahirkan sebuah konsekuensi terutama menyangkut fungsi gereja. Adapun tantangan internal yaitu: Gereja hanya menekankan aspek kelembagaan dan mengabaikan persekutuan. Gereja sibuk dengan pebenahan dan urusan organisasi.
Terdapat pula sekelompok orang didalam gereja seringkali terjebak untuk menganggap dirinya lebih baik dan benar dari kelompok lain. Mereka tidak mau menerima kritik dari orang lain. Ini yang kita lihat dalam kasus reformasi gereja pada abad ke-16. Banyak orang melihat gereja tidak lagi menjalankan tugas dengan semestinya. Bukan memberitakan ajakan pertobatan yang sejati, menegur orang agar meninggalkan perbuatannya yang menyimpang, gereja malah terlibat dalam penjualan “surat pengampunan dosa”. Marthin Luther menentang hal ini dan menegaskan bahwa keselamatan tidak dapat diperjualbelikan dan tidak ada keselamatan di luar gereja. Keselamatan hanya diperoleh lewat anugerah Allah sendiri yang kita imani seperti yang dijelaskan oleh kitab suci. Kritik Marthin Luther dianggap sebagai pemberontakan. Sikap sok benar ini terkadang membuat kita memandang gereja sama saja dengan perkumpulan sosial, yakni orang-orang yang membentuk organisasi tersebut berhak untuk membubarkannya apabila sudah menyimpang atau kurang menguntungkan, dan akan mendukung bila hanya mendatangkan manfaat baginya.
Hal ni tidak boleh terjadi dalam gereja. Bila orang tidak puas dengan gerejanya, ia tidak perlu meninggalkannya, Seharusnya orang tersebut mencari penyelesaian masalah sesuai dengan Firman Tuhan. Marthin Luther dan Yohanes Calvin menasehatkan, bahwa untuk menyelesaikan masalah yang timbul didalam gereja hendaklah masing-masing yang terlibat dalam masalah tersebut “duduk disekitar firman (Alkitab) atau membicarakan penyelesaian secara bersama”. Untuk itulah diperlukan sikap kritis dalam gereja.
Dalam pelaksanaan tugas panggilan gereja kita pun harus bersikap kritis, yaitu mengkritisi bagaimana gereja melaksanakan tugas panggilannya agar gereja tidak kehilangan keseimbangan fungsi sosial dan persekutuan. Seringkali gereja terlalu menekankan satu aspek dan mengabaikan aspek yang lain. Misalnya, gereja menjadwalkan ibadah-ibadah yang begitu padat, namun di sisi yang lain gereja tidak pernah astau sangat jarang melakukan kegiatan diakonia, seperti bakti sosial. Jadi sikap kritis harus dilakukan untuk memeberikan masukan dalam rangka pembaharuan peran gereja di tengah dunia.

B.     Tantangan Eksternal

1.      Tantangan materialisme
Dewasa ini pola hidup materialism telah mempengaruhi berbagai lapisan masyarakat sehingga terciptalah mentalitas yang mengagung-agungkan materi atau benda. Segala sesuatu diukur atas dasar materi. Termasuk juga dalam gereja, mulai memandang bahwa yang paling penting adalah urusan fisik gereja (sarana dan prasarana). Oleh karena itulah, seluruh kegiatan gereja difokuskan pada pembangunan gereja sevara fisik. Membangun gereja dengan megah memang tidak salah, namun bila hanya itu yang menjadi fokus, sehinga seluruh daya dikerahkan demi pelaksanaannya, maka tindakan itu tidak dapat dibenarkan. Lebih baik mementingkan kesejahteraan dan ekonomi warga jemaat daripada pembangunan fisik.

2.      Tantangan pola hidup serba cepat
Perkembangan teknologi mengalami kemajuan yang begitu pesat. Manusia tak henti-hentinya berusaha menciptakan cara agar hidupnya dapat lebih mudah. Salah satu dampaknya yang paling kelihatan adalah manusia cenderung memperoleh segala sesuatu secara cepat dan mudah (instan). Pola hidup yang seperti ini ada di sekitar kita misalnya, kita banyak menemukan restoran siap saji, mie instan, cetak foto instan dan sebagainya. Tanpa disadari juga pola hidup cepat telah masuk ke dalam masyarakat. Manusia cenderung ingin meraih segala sesuatu dengan cepat tanpa mengikuti prosedur yang sebenarnya. Mentalitas semacam ini baik disadari maupun tidak telah merasuk ke dalam kehidupan gereja. Segala proses kehidupan menjadi proses yang serba cepat dan mudah, misalnya saja mengenai kesembuhan yang ingin cepat, hari ini berdoa hari ini sembuh, dan juga dalam hal rezeki, manusia inginya mendapat berkat banyak dalam waktu yang instan.

3.      Tantangan munculnya berbagai aliran dalam kekristenan
Kita tidak dapat memungkiri kalau belakangan ini bermunculan berbagai aliran gereja. Masing-masing muncul dengan gaya dan ajaran yang berbeda-beda. Fenomena semacam ini menuntut kita untuk bersikap kritis terhadap aliran gereja yang muncul. Kita tidak boleh menerima begitu saja atau menutup diri terhadap diri terhadap fenomena tersebut. Sebaiknya, kita membandingkan ajaran-ajran itu dengan apa yang diajarkan oleh Alkitab dan ajaran yang diyakini oleh gereja. Salah satu usaha yang dapt kita lakukan untuk memperlengkapi diri adalah dengan mengikuti kelas pengajaran di gereja sehingga mengerti pengajaran yang benar menurut Alkitab.


PELAJARAN 4. Hubungan Gereja dan Negara
Pada zaman modern diberbagai belahan dunia, dapat dibedakan empat model hubungan gereja dengan negara:
1.      Terpisah dan bermusuhan. Dalam model ini gereja sama sekali diasingkan dari negara. Model ini banyak terjadi di negara-negara Eropa Timur dan Selatan, selama era komunis antara tahun 1960-an samapai dengan 1990-an.
2.      Pemisahan gereja dengan negara. Model ini dianut antara lain oleh Prancis dan Amerika Serikat. Di negara-negara ini, negara bersifat netral (tidak memihak). Gereja pada umumnya tidak mendapat subsidi dari pemerintah, namun tetap mendapat kebebasan penuh untuk berkembang.
3.      Mapan. Model ini dinikmati oleh gereja-gereja protestan di Eropa Utara 9Inggris, Swedia, Norwegia, Denmark, Finlandia, Islandia). Gereja mendapat dukungan dari negara.
4.      Semi terpisah. Model ini terutama dipraktikkan di Jerman. Gereja bebas menentukan dan mengurus dirinya sendiri secara terbatas. Para pemimpin gereja berhak berperan dalam layanan public 9rumah sakit, militer dan penjara) serta memungut pajak atas dasar keangotaan gereja. Agama diajarkan di sekolah umum.

Karena itu pula, gereja perlu bersikap kritis terhadap negara. Mengapa? Pengalaman menunjukkan ada dua kemungkinan:
a.       Gereja makin tersingkir, terdesak dan tidak mempunyai pengaruh  terhadap kehidupan masyarakat.
b.      Gereja ikut-ikutan saja dengan arus kebijakan negara sehingga makin kaburlah pemahaman mengenai misi gereja karena hal itu berarti gereja sudah menjadi serupa dengan dunia ini (Rm. 12:2).
Dalam sikap kritisnya, gereja harus selalu memohon bimbingan Roh Kudus untuk memanfaatkan kesempatan yang ada di dalam memenuhi panggilannya.


 Pelajaran 5. Fungsi dan Peran Agama dalam Masyarakat
Peran Agama yang Kostruktif
Seorang sosiolog asal Perancis, Emila Durkheim, mengatakan bahwa agama merupakan kekuatan yang amat mempengaruhi sikap hidup manusia secara individual maupun sosial dan seharusnya agama menjadi perekat sosial yang kuat dalam kehidupan manusia. Sejajar dengan itu, banawiratma mengatakan bahwa agama bukan hanya ajaran teoritis, merumuskan iman dan mengarahkan perilaku orang beriman, melainkan juga didalamnya terdapat norma dan aturan, perintah dan larangan yang berkenaan dengan etika dan moral masyarakat. Jadi dapat dikatakan bahwa selain menjadi sumber spiritual. Agama juga merupakan sumber etika dan moral dalam kehidupan masyarakat.

Peran Agama yang Destruktif
Pada awalnya, Fundamentalisme hanya ingn mengembalikan umat pada hal yang paling mendasar dalam agama yang dianutnya. Namun, dalam perkembangan berikutnya justru fundamentalisme semakin jauh dari ajaran agama itu sendiri. Pendukung fundamentalisme menerapkan tafsir yang sempit serta menolak studi kritis atas kitab suci. Justru dengan demikian mereka sering tidak berpijak pada kitab sucinya. Fundamentalisme keagamaan telah menjadi suatu ancaman terhadap perjuangan manusia untuk mendapatkan keadilan dan kebebasan beragama. Pada umumnya, mereka sangat menentang perubahan sosial termasuk perjuangan perempuan untuk mendapatkan kesetaraan.
           Kaum fundamentalis, di smeua agama, memandang diri sendiri sebagai satu-satunya pewaris yang sebenarnya dari kebenaran dan tradisi agama mereka. Orang lain dalam agama mereka yang mempunyai pandangan teologi yang berbeda akan dianggap sebagai penyesat dan Karen itu mereka tidak segan-segan menekan bahkan melenyapkan orang tersebut. Jelas bahwa mereka bukan hanya menimbulkan konflik dalam hubungannya dengan agama lain, tetapi juga dengan orang yang seagama.
           Tidak jauh berbeda dengan fundamentalisme, fanatisme juga membawa dampak yang tidak baik dalam kebersamam yang majemuk. Yahya Wijaya dalam bukunya, Iman Atau Fanatisme?, menuliskan bahwa orang fanatic kadang-kandang sangat mengagumkan dalam menjalankan ibadah. Mereka sangat aktif dan setia. Sangat tekun dalam mendalami kitab sucinya, Namun, mereka tiba-tiba dapat berubah wajah menjadi garang, menuduh dan menghukum setiap orang yang tidak setuju dengan pendapat mereka. Bahkan tidak jarang mereka sanga bersemangat melibatkan diri dalam pembunuhan dan perang. Sejarah mencatat, di Lebanon para penganut agama Kristen dan Islam Saling membunuh. Di Irlandia, penindasan dan terror tidak pernah berhenti di antara sebagian umat Protestan dan Katolik. Di India, balas dendam berkempanjangan antara pemeluk agama Hindu dengan Sikh dan Islam, dan Myanmar mayoritas yang beragama Budhisme menyingkirkan suku-suku minoritas: Rohingnya yang islam, Karen yang Kristen, dan naga yang Hindhu.
           Orang fanatik sering menganggap diri sebagai pembela agamnya. Ironisnya, indak pembelaan itu justru dengan cara yang dilarang agamanya sendiri. Ingatlah ketika Imam-imam kepala dan para tua-tua bangsa Yahudi memfitnah Yesus dan menghasut orang banyak untuk menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus (Mat. 26:57-68). Mereka bukan orang yang tidak tahu hokum Taurat yang berbunyi “Jangan mengucapkan saksi dusta tentag sesamamu”, “Jangan membunuh” (Kel. 20:13, 16). Mereka merasa telah membela hokum agama yang – menurut mereka – sudah dinodai oleh Yesus melalui perkataan dan perbuatn-Nya. Namun sesungguhnya justru mereka sendiri telah melanggar hukum itu. Jadi, orang fanatic bukan membela agama atau hukum dalam agamanya, melainkan membela pemahaman mereka atas hukum agama itu dan cara mereka melaksanakannya.

Pelajaran 6. SIMBOLISME DAN PLURALISME DALAM AGAMA

Simbolisme dalam Agama
Kata “simbol”berasal dari kata Yunani sumbolon, yang berarti suatu benda ingat-ingatan atau tanda pengingat. Bila dua orang pernah berkenalan, salah seorang dari antara mereka memberi suatu benda atau kata sandi sebagai kenang-kenangan kepada yang lain sewaktu hendak berpisah. Ketika kemudian hari mereka bertemu lagi, benda atau kata sandi itu ditunjukkan sebagai alat pengenal. Simbolisme adalah hal menggunakan simbol atau lambing tertentu untuk mengekspresikan gagasan tertentu.
Jadi, simbol adalah sebuah kata, objek, barang atau benda, tindakan, peristiwa yang mewakili, menggambarkan, mengisyaratkan, menandakan atau menyampaikan sesuatu yang lebih besar, lebih tinggi, lebih luhur daripada objek yang melambangkannya. Misalnya, cincin perkawinan. Cincin tersebut bukan sekedar tanda atau perhiasan. Benda itu menunjuk hal yang lebih luhur, yakni kehidupan perkawinan. Semua orang dapat membeli cincin, tetapi tidak semua orang membeli cincin perkawinan.
Dalam hal agama, simbol keagamaan memiliki fungsi sebagai tanda pengingat, perlambang dari hal-hal yang agung dan luhur dalam agama tersebut. Simbol memiliki peranan penting sebagai sarana umat menghayati agamanya.
Agama Kristen memiliki sejumlah simbol. Yang paling popular adalah salib. Namun, pada masa awal kekristenan, umat sering menggunakan ayam jago (Mat. 26:74-75) dan ikan sebagai simbol.
Beberapa contoh simbol dalam kekristenan:
Jenis
Ungkapan/Bentuk
Kata
Haleluya, syalom
Objek
Yerusalem, Sion, pohon anggur
Barang/benda
Salib, patung bunda Maria/Yesus, Rosario, jubah pendeta, minyak urapan
Tindakan
Menutup mata dan melipat tangan, mengangkat tangan untuk memberkati, berlutut, sakramen
Peristiwa
Natal, paskah

Dewasa ini ada kecenderungan dalam masyarakat untuk mengagung-agungkan simbol-simbol keagamaan dengan berbagai tujuan. Seorang yang menggunakan simbol keagamaan tertentu melambangkan tingginya kualitas imannya. Akibatnya, orang itu lebih melihat simbol tersebut dan melupakan apa yang disimbolkannya. Simbol itu dianggap sebagai keniscayaan bahkan menjadi berhala. Sikap ini sangat berbahaya sebab dengan menomorsatukan simbol berarti kita menomorduakan Tuhan.
Padahal simbol-simbol agama hanya memiliki makna sejauh simbol tersebut dipahami sesuai dengan tujuannya. Simbol tidak berkaitan dengan kualitas seseorang. Simbol tidak menjamin keselamatan seseorang, sebanyak apapun simbol yang dipergunakannya. Pengagungan simbol dapat memicu kecongkakan seseorang karena menganggap dirinya memiliki kadar iman yang lebih tinggi daripada orang lain. Oleh karena itu, kita harus bijaksana dengan penggunaaan simbol-simbol keagamaan agar tidak terjadi penyimpangan arti.

Pluralisme Agama
Menurut Kamus Kata-Kata Asing dalam Bahasa Indonesia, pulralisme berarti keadaaan masyarakat yang majemuk berdasarkan sudut pandang sosial politik. Pengertian sosiologis ini oleh para ahli teolog dikembangkan ke dalam lingkup agama-agama untuk menjelaskan kemajemukan agama-agama. Pengertian ini sesuai dengan kondisi masyarakat beragama di Indonesia yang majemuk. Dalam pluralisme agama, semua agama tidak dianggap sama, tetapi semua penganut agama-agama harus saling membuka diri terhadap masalah-masalah bersama dari sudut pandang agama masing-masing. Muara dari keterbukaan ini adalah pembentukan etika, moral dan spiritualitas masyarakat yang plural itu. Jadi, pluralism agama bukan sinkritisme. Jadi, pluralism harus dipahami sebagai semangat untuk menghargai keyakinan agama sendiri dan berbarengan dengan itu menghormati keyakinan agama lain. Penganut agama lain tidak dilihat sebagai musuh, lawan atau saingan. Sebaliknya, mereka adalah kawan sekerja, saudara, sesama yang memiliki tujuan yang sama, yakni kesejahteraan manusia dan alam ciptaan Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar