MATERI UAS XII SEMESTER GASAL TAHUN PELAJARAN 2013/1014
PELAJARAN 1. Gereja Sebagai Institusi Sosial dan Persekutuan
Institusi Sosial adalah suatu
perkumpulan sosial yang dilembagakan oleh undang-undang, adat atau kebiasaan
atau juga dapat berarti perkumpulan atau paguyuban, organisasi sosial yang
berkenaan dengan masyarakat. Dilihat dari definisi tersebut, maka gereja dapat
digolongkan sebagai lembaga atau institusi. Gereja memiliki perangkat
organisasi, lengkap dengan strukturnya, kepemimpinan dan keanggotaan. Gereja
dibangun atas visi dan misi yang jelas, memiliki aturan serta sejarah yang
turut mempengaruhi arah dan langkah gereja.
Kata Gereja merupakan terjemahan
dari kata “ekklesia” yang artinya dipanggil keluar dari dunia mereka yang lama
dan dikuduskan atau “diasingkan” dari persekutuan-persekutuan lain di dunia.
Gereja digunakan oleh Allah sebagai “alat” dalam karya penyelamatan-Nya, yakni
menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, memberitakan pembebasan
kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang buta, membebaskan orang
tertindas, dan untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan yang telah datang (Luk.
4:18-19).
Gereja terbentuk karena Allah yang
memanggil dan bukan karena orang-orang yang berkepentingan sama merasa perlu
bersatu. Gereja berbeda dengan lembaga atau persekutuan lain. Gereja mempunyai
hakekat lain. Ia berada di tengah-tengah dunia, tetapi ia tidak berasal dari
dunia (Yoh. 17:11). Oleh karena itu, muncul istilah “gereja yang tidak
kelihatan”, yakni gereja yang dalam iman.
PELAJARAN
2. Gereja Diutus ke dalam Dunia
Gereja Diutus ke dalam Dunia: Sebagai Penghubung Kristus dengan dunia
Gereja hidup di tengah-tengah dunia. Oleh karena itulah, keberadaan
gereja tidak dapat dipisahkan dari lingkungan sosialnya. Dr. J. L. Ch. Abineno
mengatakan bahwa gereja adalah persekutuan yang menghubungkan Kristus dengan
dunia. Dunia adalah ruang tempat gereja hidup, bersaksi dan melayani sebagai
umat Allah. Sebagai persekutuan, gereja dipanggil sekaligus diutus ke dalam
dunia untuk memberitakan perbuatan-perbuatan Allah yang besar. Inilah yang
disebut dengan panggilan dan pengutusan gereja.
Gereja Memberitakan Injil
Injil berasal dari bahasa Yunani euangelion yang berarti “kabar baik”.
Dengan demikian, Injil yang dimaksud adalah Injil perdamaian yang adalah
kekuatan Allah yang menyelamatkan dan memperdamaikan segala sesuatu dengan
Allah (bnd. Rm. 1: 16-17; Kol 1:20). Injil adalah berita sukacita yang utuh dan
menyeluruh untuk segala makhluk, manusia dan alam lingkungan hidupnya. Injil
menyangkut keseluruhan kehidupan manusia. Bukan hanya kehidupan nanti,
melainkan kehidupan sekarang di dunia ini. Bukan hanya mengenai jiwa atau roh
manusia, melainkan juga mengenai seluruh keberadaannya, baik sebagai makhluk
rohani, maupun sebagai makhluk politik, makhluk sosial, makhluk ekonomi,
makhluk ilmu dan teknologi, makhluk kebudayaan, dan sebagainya. Sebagai pekabar
Injil dalam masyarakat, gereja juga dituntut untuk memberi perhatian pada
persoalan-persoalan yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Dengan
demikianlah peran serta gereja dirasakan oleh masyarakat.
Gereja Menyatakan Tanda-Tanda Kerajaan
Allah
Dalam pemberitaan-Nya, Yesus berkali-kali menyampaikan tentang kerajaan
Allah. Yesus menegaskan bahwa Ia datang dan diutus ke dalam dunia untuk
memberitakan Injil Kerajaan Allah (Mat. 4:23; Luk. 4:43; 8:1). Yesus tidak
pernah merumuskan pengertian-Nya tentang Kerajaan Allah. Arti Kerajaan Allah
disampaikan oleh Yesus melalui berbagai perumpamaan (lih. Mat. 18:23; 22:2;
25:1). Bahkan, ketika orang Farisi bertanya mengenai Kerajaan Allah, Yesus
justru menjawab, “Sesungguhnya Kerajaan Allah ada di antara kamu” (Luk.
17:21b). Kalau begitu, apakah yang dimaksud dengan Kerajaan Allah?
Dr. Eka Darmaputera menjelaskan bahwa Kerajaan Allah menunjuk pada suatu
keadaan atau suatu kenyataan dimana Allah dengan sepenuhnya akan memerintha dan
memberlakukan kehendak-Nya, yaitu keadilan, kebenaran, perdamaian dan
kesejahteraan yang menyeluruh bagi seluruh umat manusia. Tugas umat Kristen
adalah untuk menyatakan “tanda-tanda” yang menunjuk pada Kerajaan Allah, yaitu
menyatakan keadilan, kebenaran, perdamaian, dan kesejahteraan bagi seluruh umat
manusia.
PELAJARAN
3. Bersikap Kritis terhadap Gereja
Menyikapi perkembangan yang ada
dalam masyarakat, gereja masa kini dituntut untuk senantiasa memperbaharui diri
guna memenuhi kebutuhan anggotanya dan sebagai jawaban atas tugas dan
panggilannya. Gereja dapat membenah diri sehingga dapat menjadi persekutuan
yang dipanggil untuk melayani Tuhan melalui pelayanan terhadap dirinya,
masyarakat dan dunia ini.
Pergeseran dan perubahan itu
terus-menerus terjadi dan derasnya arus pergeseran dan perubahan dalam
masyarakat turut mempengaruhi gereja. Meskipun gereja bukan berasal dari
“dunia” (Yoh. 17:16). Hal ini menantang gereja untuk turut menggumuli
masalah-masalah yang timbul dan menyatakan sikapnya terhadap masalah-masalah
itu. Gereja tidak dapat menutup mata terhadap lingkungan sekitarnya, terutama
yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan, kebebasan, kesetaraan dan kasih.
A.
Tantangan
Internal
Tantangan internal adalah
tantangan yang berasal dari tubuh gereja itu sendiri. Kenyataan gereja sebagai
lembaga dan sebagai persekutuan melahirkan sebuah konsekuensi terutama
menyangkut fungsi gereja. Adapun tantangan internal yaitu: Gereja hanya
menekankan aspek kelembagaan dan mengabaikan persekutuan. Gereja sibuk dengan
pebenahan dan urusan organisasi.
Terdapat pula sekelompok orang
didalam gereja seringkali terjebak untuk menganggap dirinya lebih baik dan
benar dari kelompok lain. Mereka tidak mau menerima kritik dari orang lain. Ini
yang kita lihat dalam kasus reformasi gereja pada abad ke-16. Banyak orang
melihat gereja tidak lagi menjalankan tugas dengan semestinya. Bukan
memberitakan ajakan pertobatan yang sejati, menegur orang agar meninggalkan
perbuatannya yang menyimpang, gereja malah terlibat dalam penjualan “surat
pengampunan dosa”. Marthin Luther menentang hal ini dan menegaskan bahwa
keselamatan tidak dapat diperjualbelikan dan tidak ada keselamatan di luar
gereja. Keselamatan hanya diperoleh lewat anugerah Allah sendiri yang kita
imani seperti yang dijelaskan oleh kitab suci. Kritik Marthin Luther dianggap
sebagai pemberontakan. Sikap sok benar ini terkadang membuat kita memandang
gereja sama saja dengan perkumpulan sosial, yakni orang-orang yang membentuk
organisasi tersebut berhak untuk membubarkannya apabila sudah menyimpang atau
kurang menguntungkan, dan akan mendukung bila hanya mendatangkan manfaat
baginya.
Hal ni tidak boleh terjadi dalam
gereja. Bila orang tidak puas dengan gerejanya, ia tidak perlu meninggalkannya,
Seharusnya orang tersebut mencari penyelesaian masalah sesuai dengan Firman
Tuhan. Marthin Luther dan Yohanes Calvin menasehatkan, bahwa untuk
menyelesaikan masalah yang timbul didalam gereja hendaklah masing-masing yang
terlibat dalam masalah tersebut “duduk disekitar firman (Alkitab) atau
membicarakan penyelesaian secara bersama”. Untuk itulah diperlukan sikap kritis
dalam gereja.
Dalam pelaksanaan tugas panggilan
gereja kita pun harus bersikap kritis, yaitu mengkritisi bagaimana gereja
melaksanakan tugas panggilannya agar gereja tidak kehilangan keseimbangan
fungsi sosial dan persekutuan. Seringkali gereja terlalu menekankan satu aspek
dan mengabaikan aspek yang lain. Misalnya, gereja menjadwalkan ibadah-ibadah
yang begitu padat, namun di sisi yang lain gereja tidak pernah astau sangat
jarang melakukan kegiatan diakonia, seperti bakti sosial. Jadi sikap kritis
harus dilakukan untuk memeberikan masukan dalam rangka pembaharuan peran gereja
di tengah dunia.
B.
Tantangan
Eksternal
1.
Tantangan
materialisme
Dewasa ini pola hidup materialism telah mempengaruhi berbagai
lapisan masyarakat sehingga terciptalah mentalitas yang mengagung-agungkan
materi atau benda. Segala sesuatu diukur atas dasar materi. Termasuk juga dalam
gereja, mulai memandang bahwa yang paling penting adalah urusan fisik gereja
(sarana dan prasarana). Oleh karena itulah, seluruh kegiatan gereja difokuskan
pada pembangunan gereja sevara fisik. Membangun gereja dengan megah memang
tidak salah, namun bila hanya itu yang menjadi fokus, sehinga seluruh daya
dikerahkan demi pelaksanaannya, maka tindakan itu tidak dapat dibenarkan. Lebih
baik mementingkan kesejahteraan dan ekonomi warga jemaat daripada pembangunan
fisik.
2.
Tantangan
pola hidup serba cepat
Perkembangan teknologi mengalami kemajuan yang begitu pesat.
Manusia tak henti-hentinya berusaha menciptakan cara agar hidupnya dapat lebih
mudah. Salah satu dampaknya yang paling kelihatan adalah manusia cenderung
memperoleh segala sesuatu secara cepat dan mudah (instan). Pola hidup yang
seperti ini ada di sekitar kita misalnya, kita banyak menemukan restoran siap
saji, mie instan, cetak foto instan dan sebagainya. Tanpa disadari juga pola
hidup cepat telah masuk ke dalam masyarakat. Manusia cenderung ingin meraih segala
sesuatu dengan cepat tanpa mengikuti prosedur yang sebenarnya. Mentalitas
semacam ini baik disadari maupun tidak telah merasuk ke dalam kehidupan gereja.
Segala proses kehidupan menjadi proses yang serba cepat dan mudah, misalnya
saja mengenai kesembuhan yang ingin cepat, hari ini berdoa hari ini sembuh, dan
juga dalam hal rezeki, manusia inginya mendapat berkat banyak dalam waktu yang
instan.
3.
Tantangan
munculnya berbagai aliran dalam kekristenan
Kita tidak dapat memungkiri kalau belakangan ini bermunculan
berbagai aliran gereja. Masing-masing muncul dengan gaya dan ajaran yang
berbeda-beda. Fenomena semacam ini menuntut kita untuk bersikap kritis terhadap
aliran gereja yang muncul. Kita tidak boleh menerima begitu saja atau menutup
diri terhadap diri terhadap fenomena tersebut. Sebaiknya, kita membandingkan
ajaran-ajran itu dengan apa yang diajarkan oleh Alkitab dan ajaran yang
diyakini oleh gereja. Salah satu usaha yang dapt kita lakukan untuk
memperlengkapi diri adalah dengan mengikuti kelas pengajaran di gereja sehingga
mengerti pengajaran yang benar menurut Alkitab.
PELAJARAN
4. Hubungan Gereja dan Negara
Pada zaman modern diberbagai belahan
dunia, dapat dibedakan empat model hubungan gereja dengan negara:
1. Terpisah
dan bermusuhan. Dalam model ini gereja sama sekali diasingkan dari negara.
Model ini banyak terjadi di negara-negara Eropa Timur dan Selatan, selama era
komunis antara tahun 1960-an samapai dengan 1990-an.
2. Pemisahan
gereja dengan negara. Model ini dianut antara lain oleh Prancis dan Amerika
Serikat. Di negara-negara ini, negara bersifat netral (tidak memihak). Gereja
pada umumnya tidak mendapat subsidi dari pemerintah, namun tetap mendapat
kebebasan penuh untuk berkembang.
3. Mapan.
Model ini dinikmati oleh gereja-gereja protestan di Eropa Utara 9Inggris,
Swedia, Norwegia, Denmark, Finlandia, Islandia). Gereja mendapat dukungan dari
negara.
4. Semi
terpisah. Model ini terutama dipraktikkan di Jerman. Gereja bebas menentukan
dan mengurus dirinya sendiri secara terbatas. Para pemimpin gereja berhak
berperan dalam layanan public 9rumah sakit, militer dan penjara) serta memungut
pajak atas dasar keangotaan gereja. Agama diajarkan di sekolah umum.
Karena itu pula, gereja perlu bersikap
kritis terhadap negara. Mengapa? Pengalaman menunjukkan ada dua kemungkinan:
a. Gereja
makin tersingkir, terdesak dan tidak mempunyai pengaruh terhadap kehidupan masyarakat.
b. Gereja
ikut-ikutan saja dengan arus kebijakan negara sehingga makin kaburlah pemahaman
mengenai misi gereja karena hal itu berarti gereja sudah menjadi serupa dengan
dunia ini (Rm. 12:2).
Dalam
sikap kritisnya, gereja harus selalu memohon bimbingan Roh Kudus untuk
memanfaatkan kesempatan yang ada di dalam memenuhi panggilannya.
Pelajaran 5. Fungsi dan Peran Agama
dalam Masyarakat
Peran Agama yang
Kostruktif
Seorang
sosiolog asal Perancis, Emila Durkheim, mengatakan bahwa agama merupakan
kekuatan yang amat mempengaruhi sikap hidup manusia secara individual maupun
sosial dan seharusnya agama menjadi perekat sosial yang kuat dalam kehidupan
manusia. Sejajar dengan itu, banawiratma mengatakan bahwa agama bukan hanya
ajaran teoritis, merumuskan iman dan mengarahkan perilaku orang beriman,
melainkan juga didalamnya terdapat norma dan aturan, perintah dan larangan yang
berkenaan dengan etika dan moral masyarakat. Jadi dapat dikatakan bahwa selain
menjadi sumber spiritual. Agama juga merupakan sumber etika dan moral dalam
kehidupan masyarakat.
Peran Agama yang Destruktif
Pada awalnya, Fundamentalisme hanya
ingn mengembalikan umat pada hal yang paling mendasar dalam agama yang
dianutnya. Namun, dalam perkembangan berikutnya justru fundamentalisme semakin
jauh dari ajaran agama itu sendiri. Pendukung fundamentalisme menerapkan tafsir
yang sempit serta menolak studi kritis atas kitab suci. Justru dengan demikian
mereka sering tidak berpijak pada kitab sucinya. Fundamentalisme keagamaan
telah menjadi suatu ancaman terhadap perjuangan manusia untuk mendapatkan
keadilan dan kebebasan beragama. Pada umumnya, mereka sangat menentang
perubahan sosial termasuk perjuangan perempuan untuk mendapatkan kesetaraan.
Kaum fundamentalis, di smeua agama,
memandang diri sendiri sebagai satu-satunya pewaris yang sebenarnya dari
kebenaran dan tradisi agama mereka. Orang lain dalam agama mereka yang
mempunyai pandangan teologi yang berbeda akan dianggap sebagai penyesat dan
Karen itu mereka tidak segan-segan menekan bahkan melenyapkan orang tersebut.
Jelas bahwa mereka bukan hanya menimbulkan konflik dalam hubungannya dengan agama
lain, tetapi juga dengan orang yang seagama.
Tidak jauh berbeda dengan
fundamentalisme, fanatisme juga membawa dampak yang tidak baik dalam kebersamam
yang majemuk. Yahya Wijaya dalam bukunya, Iman Atau Fanatisme?, menuliskan
bahwa orang fanatic kadang-kandang sangat mengagumkan dalam menjalankan ibadah.
Mereka sangat aktif dan setia. Sangat tekun dalam mendalami kitab sucinya,
Namun, mereka tiba-tiba dapat berubah wajah menjadi garang, menuduh dan
menghukum setiap orang yang tidak setuju dengan pendapat mereka. Bahkan tidak
jarang mereka sanga bersemangat melibatkan diri dalam pembunuhan dan perang.
Sejarah mencatat, di Lebanon para penganut agama Kristen dan Islam Saling
membunuh. Di Irlandia, penindasan dan terror tidak pernah berhenti di antara sebagian
umat Protestan dan Katolik. Di India, balas dendam berkempanjangan antara
pemeluk agama Hindu dengan Sikh dan Islam, dan Myanmar mayoritas yang beragama
Budhisme menyingkirkan suku-suku minoritas: Rohingnya yang islam, Karen yang
Kristen, dan naga yang Hindhu.
Orang fanatik sering menganggap diri
sebagai pembela agamnya. Ironisnya, indak pembelaan itu justru dengan cara yang
dilarang agamanya sendiri. Ingatlah ketika Imam-imam kepala dan para tua-tua
bangsa Yahudi memfitnah Yesus dan menghasut orang banyak untuk menjatuhkan
hukuman mati kepada Yesus (Mat. 26:57-68). Mereka bukan orang yang tidak tahu
hokum Taurat yang berbunyi “Jangan mengucapkan saksi dusta tentag sesamamu”,
“Jangan membunuh” (Kel. 20:13, 16). Mereka merasa telah membela hokum agama yang
– menurut mereka – sudah dinodai oleh Yesus melalui perkataan dan perbuatn-Nya.
Namun sesungguhnya justru mereka sendiri telah melanggar hukum itu. Jadi, orang
fanatic bukan membela agama atau hukum dalam agamanya, melainkan membela
pemahaman mereka atas hukum agama itu dan cara mereka melaksanakannya.
Pelajaran 6. SIMBOLISME DAN
PLURALISME DALAM AGAMA
Simbolisme dalam Agama
Kata
“simbol”berasal dari kata Yunani sumbolon,
yang berarti suatu benda ingat-ingatan atau tanda pengingat. Bila dua orang
pernah berkenalan, salah seorang dari antara mereka memberi suatu benda atau
kata sandi sebagai kenang-kenangan kepada yang lain sewaktu hendak berpisah.
Ketika kemudian hari mereka bertemu lagi, benda atau kata sandi itu ditunjukkan
sebagai alat pengenal. Simbolisme adalah hal menggunakan simbol atau lambing
tertentu untuk mengekspresikan gagasan tertentu.
Jadi,
simbol adalah sebuah kata, objek, barang atau benda, tindakan, peristiwa yang
mewakili, menggambarkan, mengisyaratkan, menandakan atau menyampaikan sesuatu
yang lebih besar, lebih tinggi, lebih luhur daripada objek yang
melambangkannya. Misalnya, cincin perkawinan. Cincin tersebut bukan sekedar
tanda atau perhiasan. Benda itu menunjuk hal yang lebih luhur, yakni kehidupan perkawinan.
Semua orang dapat membeli cincin, tetapi tidak semua orang membeli cincin
perkawinan.
Dalam
hal agama, simbol keagamaan memiliki fungsi sebagai tanda pengingat, perlambang
dari hal-hal yang agung dan luhur dalam agama tersebut. Simbol memiliki peranan
penting sebagai sarana umat menghayati agamanya.
Agama
Kristen memiliki sejumlah simbol. Yang paling popular adalah salib. Namun, pada
masa awal kekristenan, umat sering menggunakan ayam jago (Mat. 26:74-75) dan
ikan sebagai simbol.
Beberapa
contoh simbol dalam kekristenan:
Jenis
|
Ungkapan/Bentuk
|
Kata
|
Haleluya,
syalom
|
Objek
|
Yerusalem,
Sion, pohon anggur
|
Barang/benda
|
Salib,
patung bunda Maria/Yesus, Rosario, jubah pendeta, minyak urapan
|
Tindakan
|
Menutup
mata dan melipat tangan, mengangkat tangan untuk memberkati, berlutut,
sakramen
|
Peristiwa
|
Natal,
paskah
|
Dewasa
ini ada kecenderungan dalam masyarakat untuk mengagung-agungkan simbol-simbol
keagamaan dengan berbagai tujuan. Seorang yang menggunakan simbol keagamaan
tertentu melambangkan tingginya kualitas imannya. Akibatnya, orang itu lebih
melihat simbol tersebut dan melupakan apa yang disimbolkannya. Simbol itu
dianggap sebagai keniscayaan bahkan menjadi berhala. Sikap ini sangat berbahaya
sebab dengan menomorsatukan simbol berarti kita menomorduakan Tuhan.
Padahal
simbol-simbol agama hanya memiliki makna sejauh simbol tersebut dipahami sesuai
dengan tujuannya. Simbol tidak berkaitan dengan kualitas seseorang. Simbol
tidak menjamin keselamatan seseorang, sebanyak apapun simbol yang
dipergunakannya. Pengagungan simbol dapat memicu kecongkakan seseorang karena
menganggap dirinya memiliki kadar iman yang lebih tinggi daripada orang lain.
Oleh karena itu, kita harus bijaksana dengan penggunaaan simbol-simbol
keagamaan agar tidak terjadi penyimpangan arti.
Pluralisme
Agama
Menurut
Kamus Kata-Kata Asing dalam Bahasa
Indonesia, pulralisme berarti keadaaan masyarakat yang majemuk berdasarkan
sudut pandang sosial politik. Pengertian sosiologis ini oleh para ahli teolog
dikembangkan ke dalam lingkup agama-agama untuk menjelaskan kemajemukan
agama-agama. Pengertian ini sesuai dengan kondisi masyarakat beragama di
Indonesia yang majemuk. Dalam pluralisme agama, semua agama tidak dianggap
sama, tetapi semua penganut agama-agama harus saling membuka diri terhadap
masalah-masalah bersama dari sudut pandang agama masing-masing. Muara dari
keterbukaan ini adalah pembentukan etika, moral dan spiritualitas masyarakat
yang plural itu. Jadi, pluralism agama bukan sinkritisme. Jadi,
pluralism harus dipahami sebagai semangat untuk menghargai keyakinan agama
sendiri dan berbarengan dengan itu menghormati keyakinan agama lain. Penganut
agama lain tidak dilihat sebagai musuh, lawan atau saingan. Sebaliknya, mereka
adalah kawan sekerja, saudara, sesama yang memiliki tujuan yang sama, yakni
kesejahteraan manusia dan alam ciptaan Tuhan.